Senin, 07 Juli 2014

Ibu Ilmu Hitam

Hari ini adalah pembacaan putusan pengadilan atas gugatan cerai dari suaminya. 6 tahun saja “umur” mereka, tak bisa diperbaiki lagi dan memang sang suami tak mau lagi memperbaikinya. Dampak buruk yang dibawa istri keduanya itu telah membuatnya lupa akan anak, lupa akan harta, lupa bagaimana bertetangga, lupa bagaimana bersaudara, lupa bagaimana berbicara dan lupa bagaimana hidup.
Sang istri begitu ingin mempertahankan “mereka”, sekeras-kerasnya. Tapi tidak begini dalam berusaha me-mereka-kan mereka saat bersama. Penyesalan, hanya itu yang bisa ia ucapkan dalam sela-sela janjinya. Bahkan jika aku menjadi suami itu, aku tak merelakan suara itu untuk kudengar.
Terlalu obsesi untuk memiliki lelaki itu beserta segala hartanya dengan cara yang dibenci tuhannya, tuhanku dan tuhan kita semua hingga menutup segala indera suami atas masukan orang atas istrinya, atas apa yang terjadi didalamnya.

Lelaki itu tak mau lagi kegelapan, buta bersama wanita itu, “ Ibu Ilmu Hitam “ bagi lima anaknya.

Ceritera Angka



“ Terkadang  3  harus rela menerima keadaan ketika ada 4  yang bisa membagi habis 2 padahal mereka sama-sama bilangan bulat positif “.


            Cinta segitiga tidak hanya memandang usia, tidak memandang status sosial tapi juga tidak memandang makhluk. Sistem Bilangan juga punya cerita sendiri. Sedikit tragis, tapi cukup baik untuk menerangkan pada kita semua, bagaimana seharusnya cinta itu diperlakukan. Ya, cinta sebaiknya diperlakukan sepatutnya.
           
            3 dan 4 adalah dua yang berbeda tapi sama. Berjalan hingga berlari di jalan yang sama, meski memilih akhir jalan yang berbeda. Tak ada yang bisa disalahkan, bukan 3 dan bukan pula 4. Tapi ini mengenai apa yang ada dan apa yang bisa.
           

Sabtu, 30 Maret 2013

Iseng

Cerpen ini aku tulis buat ikutan lomba cerpen bertemakan " Koruptor, alangkah lucunya negeriku" yang diadain kampus ku. Iseng ikutan sih awalnya, tapi ya paling udah ngasi partisipasi kan udah punya nilai plus. hehehe

AGUS dan KORUPTOR
                Seperti biasa, pagi ini agus mengawali hari dengan sarapan telur mata sapi, tanpa nasi. Uang bulanan yang sebenarnya tak cukup untuk hidup sebulan itu hanya tinggal beberapa keping logam dan beberapa lembar uang seribuan. Bahkan pagi ini Agus membagai dua telur itu sama-rata, membungkus nya dengan plastik gula beberapa hari yang ia cuci bersih untuk bekal makan siang di kampus. Beberapa tetes air mata sempat jatuh diatas telur itu, memberi rasa asin pengganti garam, yang tidak ia miliki.
                Agus memang menjalani hidup tidak semulus teman temannya, bahkan lebih buruk dari apa yang ia bayangkan. Agus tinggal di mesjid tua yang secara ajaib masih bisa berdiri kokoh di antara hotel dan plaza besar tempat orang elit menghabiskan waktu. Mesjid tua yang bahkan pada saat bulan ramadhan tidak terlalu ramai. Sedikit aneh tapi maklum, karena mesjid tua itu berada di komplek perumahan elit, yang katanya 85% merupakan koruptor kakap. Mereka membiarkan agus untuk tinggal disitu agar mesjid tersebut lebih terurus. Bukan karena peduli, tapi agar tidak terlalu malu ketika ada wartawan atau semacamnya meliput kehidupan keseharian mereka  dan mendapati mesjid tua itu terurus. Mereka juga pintar menjawab “ Untuk menjaga keaslian, karena ini mesjid bersejarah “ ketika ada wartawan bertanya mengapa mesjid tua itu tidak di perbaiki dan dibangun ulang agar terlihat lebih baik. Mereka tidak ingin uang mereka berkurang untuk itu, sangat tidak ingin.
                Agus tinggal di ruangan 3X4 yang dulunya merupakan gudang. Bahkan Agus masih tinggal dengan keranda tua dan mimbar  mesjid yang sudah lapuk dan beberapa peralatan kebersihan yang biasa ia gunakan untuk membersihkan mesjid tua itu, Mesjid Al-Barokah namanya. Sebenarnya agus juga sangat risih hidup di lingkungan koruptor-kouptor busuk tersebut, tapi demi cita-cita sarjananya dan demi meringankan kedua orangtua nya di kampung yang hanya buruh tani .
                Belakangan ini Agus lebih sering merenung dan bergumam-gumam dalam hati. Tidak ada lagi yang bisa dimengerti dari negeri ini, dan tak ada yang bisa membuatnya mengerti. Lucu, bahkan negeri ini jadi lucu. Semua sistem rusak, aneh dan berantakan. Sampai sekarang dia masih belum mengerti untuk apa sistem kurikulum terus menerus diganti. Untuk pendidikan yang lebih baik ?. Nyatanya tidak. Atau itu hanya akal-akalan sang pembuat Kurikulum agar punya “bahan” pada saat laporan pertanggungjawaban kabinet di 2014 nanti ? Tuhanlah yang tahu. Hukum, Hukum juga sama saja. Simbol hukum di negeri ini mungkin seperti algojo yang membawa pedang dengan dua mata, tajam ke bawah dan tumpul ke atas. Ironis bukan ketika Koruptor Triliunan Rupiah tidur nyenyak sedangkan nenek pencuri 2-3 buah kelapa muda merasa gelisah memikirkan cucu-cucu kecilnya yang bisa jadi akan mati tidak makan saat dia bertahun-tahun mendekam di penjara bersama orang-orang yang layak berada disana sementara dia tidak ? Inilah negeriku gumamnya dalam hati.
                Agus sering mendengar teman-temannya berdebat soal korupsi. Perdebatan dengan pemikiran dangkal dan analisis asal-asalan lah yang iya dengar di telinga nya. Dia memang lebih tahu karena tiap hari dia hidup di tengah orang-orang yang mereka bicarakan tersebut, koruptor bejat itu. Menurutnya tidak perlu kitab ribuan lembar atau buku-buku keramat pemerintahan untuk menyelesaiakan masalah ini. Cukup hentikan koruptor-koruptor busuk itu. Ya, busuk. Koruptor tidak lebih baik dari virus virus penyebab tumor atau kanker yang bisa menyebar dan merusak seluruh sistem dalam tubuh. Sedikit pun mereka tidak lebih baik. Koruptor-koruptor yang terlihat santun di tengah masyarakat, terlihat baik saat tampil di televisi atau koruptor yang rajin sedekah dan punya berbagai yayasan untuk kepentingan masyarakat. Baginya mereka tidak lebih terhormat dari virus.
                Korupsi sudah menjadi kebiasaan. Bahkan korupsi menjadi tolak ukur ke-keren-an seorang pejabat pemerintahan. Semakin sering dan banyak jumlah yang di korupsi maka semakin kerenlah mereka di mata sesamanya. Tetap mereka sangat hina di mata Allah SWT.  Di komplek iya tinggal, arisan Ibu-Ibu komplek tidak lebih dari ajang pembanggan diri terhadap pencapaian suami masing-masing, sang koruptor yang memberikan nafkah uang haram dan memberikan dosa besar bagi pertumbuhan dan perkembangan anak-anaknya. Ada yang dengan bangga mengatakan bahwa suaminya baru saja korupsi anggaran pembangunan pondok pesantren dekat komplek, ada yang mengatakan bahwa suaminya baru saja korupsi dana pengadaan Al-Qur`an. Ibu-ibu berdecak kagum dan memberikan tepuk tangan meriah sementara agus merasa miris dan pedih bahkan menjadi sangat kesal. Tapi tidak ada yang bisa ia perbuat. “ aku cuma orang kecil dan pendatang ” , pikirnya dalam hati.
                Sebenarnya anak-anak koruptor terebut tidak menjauhi Agus. Mereka mau berteman dengan Agus meski terkadang memanfaatkannya juga. Tapi agus memilih untuk sedikit menjauh dan tidak terlalu akrab. Sebisa mungkin Agus menolak ketika mereka ingin mengajak Agus makan, mengajak Agus ke bioskop - yang tak pernah ia kunjungi, atau membelikan keperluan belajar. Karena Agus , bahkan mereka tahu bahwa uang itu adalah hasil korupsi. Uang yang tidak lebih baik dari uang hasil perampok bersenjata yang kemudian membunuh si pemilik uang. Tidak lebih baik pikirnya.
                Dia lebih memilih berkeringat setiap hari saat pergi dan pulang dari kampus dengan berjalan kaki, menulis dengan bolpoin dan buku yang paling murah, memakai kemeja yang dipakai selama tiga hari yang di pakaikan kapur barus agar tidak bau, kadang makan kadang tidak, kacamata tua yang sudah kendur di makan usia-yang bahkan merupakan kacamatanya sejak kelas 1 SMA-yang sebenarnya tidak lagi cocok model dan minus lensanya. Agus lebih memilih hidup seperti itu, dan berharap munculnya seseorang yang mampu merubah keadaan. Atau paling tidak bisa membuatnya mengerti tentang negeri ini.

Kamis, 07 Februari 2013

Tetangga




Oke manteman, kali ini aku gak mem-post tulisanku sendiri. Aku nemu sebuah tulisan yang menurut ku bagus dari tangan seorang polos, pelajar SMU , tetanggaku sendiri. Dan percayalah , tidak ada nepotisme dalam tindakan ini. Huehehe
Jika terdapat kesalahan tullisan, atau paragraf yang sedikit berantakan itu sengaja. Karena aku ingin menjaga keaslian tulisan tersebut. Jika ada kesamaan peristiwa dan nama tokoh itu tanya sendiri ke orangnya ya, klik disini.



Senyum mungil itu masih melekat indah di memoriku. Teringat saat kami bermain bersama di bawah pohon yang rindang di ujung jalan. Aku benar-benar merindukan saat itu. Sepuluh tahun sudah aku berpisah dengan sahabatku, Rina. Kini aku hidup dengan keceriaan di siang hari dan tangisan di malam harinya. Aku bisa merasakan persahabatan ini masih utuh sampai sekarang, meski ruang dan waktu telah memisahkan kami, tapi aku percaya suatu saat nanti kami pasti akan dipertemukan kembali oleh sang pemilik sekenario terindah. Tiap sujud dan do’aku terselip namamu sahabatku, semoga kita bisa bertemu kembali dengan kebahagiaan dan dalam suasana terindah. Malam semakin larut, aku masih di atas gelaran sajadah berdo’a untukmu  dan persahabatan kita. Tangisku juga pecah malam itu saat rekaman gambar tentang kebersamaan kita dulu kembali terputar di monitor otakku. Hatiku sesak hingga susah menghembuskan nafas. Rasa bersalah, kerinduan, kini menyelimuti relung jiwaku yang terpaku dalam bingkai masa lalu. Mungkin kau berpikir aku begitu egois saat itu, tak mau mengeluarkan sepatah kata pun tentang keadaanku yang membuatmu bertanya-tanya. Aku begitu keras kepala tak ingin berbagi padamu, padahal kita sudah berjanji untuk berbagi satu sama lain.
Masalah keluarga yang harus ku hadapi di usia tujuh tahun membuatku mulai menjauh dari kehidupanmu, meskipun aku tau kau pasti merasakan kesepian karna aku tak pernah lagi bermain denganmu, aku juga merasakan hal yang sama, tapi aku tetap saja dengan keegoisanku yang tak memperdulikan kebahagiaanmu. Aku takut, takut kau akan mencela kehidupanku yang mencekam jiwa ini. Aku belum siap menerima resiko jika aku bercerita denganmu dan kau akan menceritakannya pada teman kita yang lain. Dengan semua kebodohanku aku meragukan persahabatan kita dan berpikir sesempit itu sampai aku melupakan kedudukanmu sebagai sahabat di hidupku.
***
Pagi itu Ayah terlihat sudah rapi, tak seperti pagi-pagi biasanya. Ibu juga tak terlihat batang hidungnya. Perang dingin yang sedang disembunyikan dariku mungkin terjadi lagi diantara mereka berdua. Aku benar-benar tersiksa dengan keadaan ini. Ayah memburuku segera bersiap untuk diantar ke sekolah. Begitu cepat mobil Ayah berlalu meninggalkanku di depan pintu gerbang sekolah, lekat-lekat ku pandangi bagian depan sekolahku kemudian aku berlari sekencang-kencangnya meninggalkan sekolah menuju pohon rindang di ujung jalan rumahku.
“Rina, kamu dimana ? aku sendiri disini.” Ucapku lirih
Aku tertegun melihat bayanganmu sedang berlari menuju tempatku. Tidak, itu bukan bayanganmu itu adalah dirimu yang sesungguhnya yang selalu bisa menemukanku di bawah pohon itu. Ketakutanku kembali muncul, kau semakin mendekat ke arahku dengan senyummu yang membentuk dua sumur di pipi kanan dan kirimu. Aku berlari menjauh darimu yang hampir sampai di hadapanku dan meninggalkanmu dengan sejuta kekecewaan yang mungkin kau rasakan. Aku menyadari kalau hatimu kecewa, aku terus berlari meninggalkanmu di bawah pohon tempat kita biasa bermain. Sesekali ku lihat ke belakang dank au terus mengejarku, sudah terlalu jauh aku berlari tak ku temui lagi dirimu di belakangku hanya keramaian orang yang dapat ku lihat dari kejauhan. Langkah kaki membawaku kembali ke pohon, aku melewati keramaian itu dan dengan rasa penasaran, tubuhku yang mungil menyelip dari kerumunan itu. Aku melihat seseorang yang tak asingdi duniaku, gadis mungil yang mengejarku tadi telah tertidur bermandikan darah di tengah jalan. Aku menjerit sejadi-jadinya, beningan putih mencoba membuat danau di pipi tomatku.
“Astaghfirullah, aku ketiduran. Sudah subuh ternyata ? ”  aku kembali terjaga dan melaksanakan kewajibanku. Pagi ini masih saja sama seperti pagi-pagi biasanya, rumah terasa dingin tanpa senyum dari 2 malaikat hidupku. Ku pandangi wajah ibu dengan dekat seakan aku masuk ke dalam hidupnya . keperihan itu semakin terasa di kedua bola matanya diiringi rasa sakit yang terus menghampiriku. Aku membantu Ibu menyiapkan sarapan pagi, aku berharap Ayah dapat menikmati sarapan bersama kami kali ini. Aku merindukan kebersamaan yang dulu pernah terjadi, saat peristiwa perang dingin diantara mereka berdua belum terjadi. Ku pandangi lagi wajah bidadariku masih dengan wajah yang lembut dan penuh dengan ketenangan, jauh berbeda dari yang dia rasakan sebenarnya. Di meja makan ku lihat ayah duduk seperti menanti sesuatu.
“ itu ayah, Ayah mau sarapan bersama Sofi dan Ibu ? Apa mungkin ? Semoga saja itu benar,. Aamiin.” Pertanyaan yang bertubi -tubi menguasai ruang pikiranku. Tanpa pikir panjang aku mendekati pahlawan gagah itu dengan keceriaan dan mencoba untuk bermanja-manja dengannya. Sempat terbersit di benakku untuk tak melakukan hal itu, aku takut kecewa karna ayah bakal membiarkanku seperti angin lalu. Ternyata pikiran buruk  itu sala. Celotehan lucu tentang hidupku yang ku sajikan untuknya ternyata tak sia-sia, Ayah tertawa dan mengelus kepalaku hingga jilbab putihku agak sedikit berantakan.
“ Ayah, Sofi pagi ini diantar Ayah, kan ? tanyaku mulai merayunya
“anak Ayah kan udah SMA, biasanya juga naik sepeda motor. Tumben minta anterin sama Ayah.” Jawabnya santai sambil memandangi menu sarapan pagi kami.
“ayolah yah,, Sofi rindu diantar lagi sama Ayah.” Hormon Nora adrenalinku berfungsi saat itu, aku berhasil memberanikan diri bermanja-manja dengannya.
“oke deh,,” jawab Ayah singkat diiringi dengan kehadiran senyum khasnya yang telah lama bersembunyi di balik awan keperihan. Pagi ini merupakan nikmat yang tak dapat aku ungkapkan dengan kata-kata. Hanya butiran Kristal yang tumpah dan membentuk danau kecil di pipi yang dapat mengartikan kebahagiaan ini.  Aku bahagia sekali pagi ini, Allah ternyata tak meninggalkanku dan masih sangat menyayangiku. Entah angin apa yang membawa mereka berdua untuk membahagiakan aku pagi ini. Biarlah tak perlu aku pertanyakan hal itu, cukup aku mensyukuri keadaan ini.
***
Percakapan hangat di mobil menuju sekolahku tiba-tiba terhenti dengan jerit kesakitan yang keluar dari bibirku. Belakangan ini perutku sering sakit, tapi aku tak tau apa penyebabnya. Ternyata mereka masih memperdulikan keadaanku, ku coba menahan sakit ini dengan senyuman baik-baik saja. Perjalanan kembali dilanjutkan hingga aku tiba di sekolah, dan menikmati hari ini dengan keceriaan bersama teman-temanku. Rasa sakit itu hilang begitu saja dan aku bisa menikmati kebersamaan hari ini dalam-dalam.
Waktu terus berputar mewakili perputaran bumi. Aku kembali ke rumah dan melaksanakan kewajiban siang seperti biasa. Tak lupa terselip nama seorang sahabat dalam do’aku. Seusai sholat, tiba-tiba aku teringat akan sepucuk surat yang diberi oleh ibu Rina sepuluh tahun lalu setelah kepergian Rina,surat itu ditemukan ibu Rina di atas kasurnya. Gerak refleks menuju meja belajarku tak bisa aku hindari, ku tarik sepucuk surat  yang telah lama bersemayam di laci mejaku. Aku belum pernah membaca benda ini sekalipun, mencoba membukanya saja aku tak berani. Hari ini aku mencoba memberanikan diri untuk membaca oretan tinta yang tertuang di kertas kusam itu. Tanganku dingin seketika, jantungku seakan dihentikan oleh tekanan kuat dari isi surat yang belum ku ketahui, ku amati tinta yang tertuang membentuk kalimat-kalimat hati seorang gadis kecil masa itu.
“ sahabatku Sofi, aku sering main sendiri di bawah pohon persahabatan kita, kamu kenapa sih selalu lari kalau jumpa sama aku ? aku jahat ya ? aku pengen main bareng kamu lagi sofi. Aku udah lama gak menggambar Princess Aurora favorit kita, aku jadi sering main di rumah deh. Besok kita main lagi yuk. Main petak umpet berdua, nulis impian kita kalau udah gede’ ,menggambar putri impian kita, semuanya deh. Oke oke oke ? 
“Tulisan itu terlihat acak-acakan dan tak beraturan. Air mataku tumpah membasahi dan mengaburkan lautan tinta yang telah tersulap menjadi kata-kata, kepedihan ini membawaku kembali hanyut dalam kisah kita yang mungkin akan terus abadi di sepanjang sejarah hidupku. Rasa sakit itu kembali hadir menguasai tubuhku, kali ini sangat sakit, sakit, sungguh sakit. Aliran air mata tak urung berhenti menahan sakit yang ku alami. Keringat dingin juga ikut membanjiri tubuh tak berdaya ini, ku lihat bayangmu di ujung cahaya terang yang menyilaukan pandangan, melambaikan tangan dengan sejuta senyum terkembang di wajahmu. Ingin aku meraih tanganmu, bermain bersama lagi. Uluran tanganmu terasa begitu mudah untuk ku raih, kau seperti membawaku berlari secepat kilat seakan tak sabar  untuk bermain bersama lagi di taman surga Allah nan kekal. Aku bahagia kau mengajakku berkeliling taman yang indah, pepohonan hijau menyejukkan menambah keindahan tempat ini. Seseorang seperti mengguncang tubuhku, tapi aku tak bisa merasakan apa-apa kini, hanya keramaian orang yang menguasai ruangan rumahku, juga isak tangis yang keluar dari seseorang yang tak asing di hidupku, Ibu.

Rabu, 23 Januari 2013

Balada Tahi Ayam


Semoga ayam-ayam di muka bumi tersadar dengan tulisan ini.
Siang ini cerah dan panas, aku merasakan kekesalan luar biasa dan itu semua karena . . .  ayam. Hampir setiap pagi aku harus membersihkan tahi ayam yang ada di lantai teras ku, setiap pagi.
Tapi siang ini berbeda, aku melihat secara langsung proses itu. Semakin kesal. Melihat ayam berak di depan mata sama halnya seperti kita melihat perampokan tapi tidak bisa mencegah atau seperti melihat pemerkosaan tapi ga bisa ikutan. Huehuehueeu
Sangat kesal, aku dengan bringas menculik beberapa ayam untuk di investigasi, tepatnya 7 ayam.
1. Roby merupakan ayam pertama yang aku culik, ayam dengan derajat paling tinggi di lingkungan ini. Ya, karena dia merupakan ayam piaraan Kepling ( Kepala Lingkungan ). Roby juga baru saja terpilih dalam pemilu legislatif sebagai kepala lingkungan bersama pasangan nya Muammar Lahwi, yang merupakan kepling periode sebelumnya. Terlihat dari baju yang dikenakan Roby saat penculikan yang bertuliskan “ ROMLAH untuk kita”.

Jumat, 27 April 2012

Setahun yang lalu


Hampir setahun yang lalu, sempat lupa kini kembali teringat. Dan malam ini aku kembali menemukan, meski hanya akun Facebook mu. Tak apa , Mungkin bisa kembali di mulai lewat itu. Dan kenangan itu, masih lekat.
Setahun yang lalu, 2 hari setelah perpisahan SMA aku tiba di Medan untuk mengambil Program Intensif di salah satu bimbingan belajar, MEDICA. Bersama ketiga temanku Rahmad, Rezky,Michael. Kami juga memutuskan untuk mencari kamar kost, untuk berbagi hidup selama sebulan penuh, Meski kami memimpikan Universitas yang berbeda.
Hari pertama Bimbingan terasa biasa saja, hanya aku kembali bertemu empat teman SMA disana. Total kami berdelapan mencoba meraih asa di kota itu. Bidang Study pertama sudah selesai di ajarkan kak Tentor(namanya saya lupa). Dan itu berarti saat nya untuk kuis. Setelah mendapat lembar jawaban kuis dan mengisinya dengan data yang benar, aku mulai mengisinya dengan serius, tidak dengan mencontek seperti yang biasa aku lakukan dulu(di Bimbel Sekolah).